Pengenalan Ideologi GmnI (Marhaenisme)*



A. Pengantar Ideologi
Ideologi GmnI adalah Marhenisme. Ideologi memiliki arti suatu rangkaian ide yang terangkum menjadi satu. Munculnya sebuah ideologi didasari oleh adanya kesadaran akan suatu permasalahan yang harus diselesaikan untuk mendukung kehidupan bernegara, dengan tahapan :

  1. Mengamati
Kehidupan sosial masyarakat yang menjadi objek pengamatan memberikan gambaran akan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

  1. Bertanya
Akibat adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan tersebut muncul berbagai pertanyaan-pertanyaan tentang penyebab kesenjangan tersebut.

  1. Berpikir (Berdialektika)
Setelah melalui proses mengamati dilanjutkan dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan maka selanjutnya adalah proses berpikir. Proses berpikir tersebut merupakan suatu usaha dalam upaya mencari kebenaran yang paling mendasar untuk menemukan jawaban dari pertanyaan.

  1. Menjawab(berfilsafat)
Hasil dari berdialektika yang paling tinggi tadi itulah yang disebut dengan jawaban (filsafat). Filsafat yang sudah mencapai kematangan akan di kristalisasikan menjadi sistem filsafat.

  1. Ideologi
Sistem filsafat yang mengandung kebenaran dilaksanakan secara taat azas merupakan suatu tahapan pemikiran yang disebut Ideologi. Sistem filsafat ini tidak bisa langsung menjadi ideologi. Ketika sistem filsafat tersebut hanya jadi konsumsi sendiri maka kondisi itu tidak akan mencapai tahapan ideologi, oleh karena itu pelaksanaan sistem filsafat perlu dilakukan pengajaran dan dimasyarakatkan agar menjadi sebuah Ideologi.


B. Lahirnya Marhenisme
Marhenisme pertama kali di ungkapkan oleh Bung Karno ketika berumur 20 tahun (1921) melalui pengamatan, Bung Karno melihat bahwa di Indonesia terdapat pekerja-pekerja yang bahkan lebih miskin dari pada tikus gereja dan dalam segi keuangan terlalu menyedihkan untuk bisa bangkit di bidang social, politik, dan ekonomi. Padahal masing - masing menjadi majikan sendiri. Mereka tidak terikat kepada siapapun. Mereka menjadi kusir gerobak kudanya, mereka juga pemilik dari kuda dan gerobak itu dan tidak mempekerjakan buruh lain. Kemudian nelayan - nelayan yang bekerja sendiri dengan alat - alat seperti tongkat kail, kail dan perahunya sendiri. Dan begitu pun para petani yang menjadi pemilik tunggal dari sawahnya dan pemakai tunggal dari hasilnya. Semuanya pemilik dari alat produksi. Itulah yang membedakan mereka dari proletar. Sehingga mereka tidak termasuk kedalam satu bentuk golongan. Dari hal itu Bung Karno memunculkan pertanyaan :

apakah mereka yang tidak memiliki satu golongan tersebut?”

Pertanyaan itulah yang siang malam hingga berhari - hari, bermalam - malam bahkan berbulan - bulan menjadi perenungan bagi Bung Karno. Hingga pada suatu pagi dengan keinginan untuk tidak mengikuti kuliah, karena otaknya sudah terlalu penuh dengan soal - soal politik. Lalu ia mandayung sepeda tanpa tujuan, sambil berpikir dan sampai di bagian selatan kota bandung, suatu daerah pertanian yang padat dimana para petani mengerjakan sawahnya yang kecil, yang masing - masing luasnya kurang dari sepertiga hektar. Disitu dia melihat seorang petani sedang mencangkul sawahnya, lalu Bung Karno bertanya pada petani itu tentang

“Siapa pemilik lahan yang dikerjakan petani tersebut?, apakah petani tersebut memiliki tanah itu bersama-sama orang lain?, apakah tanah itu dibeli?, Siapa pemilik sekop?, cangkul?, bajak?, untuk siapa hasil yang dikerjakan?, dan siapa pemilik gubuk itu?”. 

Dari semua pertanyaan itu teryata semuanya adalah milik dan untuk petani itu. Lalu Bung Karno menanyakan nama petani tersebut dan dijawab dengan menyebut namahnya Marhaen”.

Setelah mendengarkan nama itu Bung Karno mendapat ilham atas konsepsi yang sedang dipikirkannya. Nama itulah yang digunakannya untuk menamai semua orang  Indonesia yang bernasib malang seperti petani tersebut. Mereka adalah korban dari sistem feodalisme, kapitalisme, kolonialisme dan imperialime. Selanjutnya Bung Karno mengolah pengertiannya dan mempersiapkan kata - katanya dengan hati - hati untuk mengajarkan konsepsi yang telah dia temuka. Konsepsi itu Bung Karno namakan “Marhaenisme.”
-         Marhaenisme adalah sosialisme  Indonesia,
-         Marhaenisme yaitu sosio - nasionalisme dan sosio - demokrasi
-         Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang didalam segala halnya menyelamatkan kaum marhaen.
-         Marhaenisme adalah juga cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang sedemikian itu. Yang oleh karenanya harus suatu cara perjuangan yang revolusioner.
-         Jadi Marhaenisme adalah cara perjuangan dan azas yang menghendaki hilangnya tiap - tiap kapitalisme dan imperialisme.
-         Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain.
-         Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia yang menjalankan Marhaenisme

C. Nilai-nilai dasar Marhaenisme
Nilai-nilai dasar yang terkandung pada Marhaenisme adalah Sosio - Nasionalisme, Sosio - Demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sosio - Nasionalisme dan Sosio - Demokrasi adalah ciptaan Bung Karno untuk menyebutkan kita punya Nasionalisme dan kita punya demokrasi. Sosio - Nasionalisme adalah Nasionalisme masyarakat dan Sosio Demokrasi adalah Demokrasi masyarakat.

  1. Sosio - Nasionalisme adalah nasionalisme yang timbulnya tidak karena “Rasa” saja, tidak karena “gevoel” saja, tidak karena “lyriek” saja tetapi karena keadaan - keadaan yang nyata didalam masyarakat, nasionalisme masyarakat bukanlah nasionalisme “ngelamun” , bukanlah nasionalisme “kemenyan”, bukanlah nasionalsime "melayang". Tetapi ialah nasionalisme yang dengan kedua - dua kakinya berdiri didalam masyarakat. Maksudnya ialah memperbaiki keadaan-keadaan didalam masyarakat itu, sehingga keadaan yang kini pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada kaum yang celaka, tidak ada kaum yang papa sengsara.

  1. Sosio - Demokrasi timbul karena sosio -nasionalisme, sosio - demokrasi adalah pula demokrasi yang berdiri dengan kedua - dua kakinya didalam masyarakat. Sosio - demokrasi tidak ingin mengabdi kepada kepentingan suatu gundukan kecil saja, tetapi kepentingan masyarakat. Sosio - demokrasi adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rejeki. Sosio - demokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah nilai - nilai yang menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara seluruh rakyat Indonesia.

D. Korelasi Pancasila dan Marhaenisme
Didepan sidang PPKI pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno berpidato tentang dasar Negara Indonesi Merdeka. Bung Karno mengusulkan pancasila sebagai dasar Negara. Pancasila tersebut merupakan hasil penggalian Bung Karno dari buminya Indonesia. Bung Karno membidani lahirnya Pancasila bukan sebagai pencipta Pancasila. Formulasi dari pancasila pidato Bung Karno adalah sebagai berikut:

  1. Kebangsaan
  2. Internasionalsime dan perikemanusian
  3. Mufakat atau demokrasi
  4. Kesejahteraan social
  5. Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari kelima sila tersebut bung karno menawarkan jika ada yang tidak senang dengan 5 sila maka diperas menjadi 3 sila (trisila) yaitu sosio-nasionalsime, sosio-demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lalu dia kembali menawarkan jika juga tidak senang dengan 3 sila maka kembali diperas menjadi satu (ekasila) yakni “Gotong Royong”. Pada pemerasan 5 sila ke 3 sila yang menghasilkan nilai-nilai dasar Marhaenisme menunjukkan bahwa nilai - nilai yang terkandung pada Pancasila tersebut sama dengan nilai-nilai yang terkandung pada Marhaenisme. Oleh karena itu Pancasila itu adalah Marhaenisme itu sendiri dan Marhaenisme itu adalah Pancasila itu sendiri (Pancasila is Marhaenisme, Marhaenisme is pancasila)

-->
* Disajikan pada pekan penerimaan anggota bru(PPAB) GmnI Gunungsitoli-Nias, 20 November 2010


Sumber bacaan:
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi
Adams cindy, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat
Soekarno, Pidato 01 Juni 1945 tentang dasar negara Indonesia pada sidang PPKI

0 Komentar