Pancasila (Tidak) Sakti Lagi

Hanya dalam waktu yang singkat sebuah peristiwa sejarah bisa terjadi, antara pemberontakan dan penumpasan berlangsung hanya dalam tempo waktu yang sangat singkat bahkan terhitung beberapa jam. Berbagai pendapat pun mengemuka saat ini atas peristiwa tersebut, berbeda ketika masa orde baru, hampir tidak ada yang berani secara terang-terangan untuk mengungkapkan pendapatnya tentang peristiwa itu. Peristiwa yang dikenal dengan nama Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia(G 30 S/PKI) dan kini hanya disebut sebagai G 30 S yang juga memiliki sebutan lain Gestapu dari kelompok yang berbeda.

Apapun namanya namun diingatan, peristiwa tersebut adalah sesuatu hal yang menakutkan. Sebab berlatar kekejian oleh sekelompok orang atas kelompok yang berbeda. Tudingan atas kekejian itu pun dituduhkan kepada PKI yang saat itu memiliki massa yang sangat besar sehingga mampu menjadi salah satu partai yang cukup diangap menjadi saingan oleh partai lain.

Meskipun saat ini tudingan itu mulai diragukan kebenarannya, karena para tokoh-tokoh eks tahanan politik yang pada masa itu dituduhkan sebagai anggota PKI mulai angkat bicara untuk membantah semua tuduhan yang diberikan. Tetapi bantahan yang dilontarkan tidak semerta-merta membuat peristiwa tersebut menjadi lurus. Karena pengakuan mereka para mantan tahanan politik tidak didukung oleh upaya penyebarluasan informasi yang sebenarnya. Sebab penanaman pemahaman bahwa pelaku pada peristiwa itu adalah PKI masih sangat kuat di ingatan masyarakan. Sebab cara-cara yang digunakan oleh orde baru pada saat itu sangat ampuh, yakni melalui film-film yang selalu diputar setiap tanggal 30 September juga melalui buku-buku sejarah yang diajarkan disekolah selama kurang lebih 30 tahun lamanya. Sehingga generasi yang lahir dijaman sebelum reformasi akan menjadi genarasi yang sangat membenci PKI, bahkan ironisnya setiap adanya seseorang yang bertingkah laku keji akan dituding sebagai PKI.

Sementara generasi yang lahir sejak reformasi dimana tidak pernah ditayangkannya film-film G 30 S, juga tidak pernahnya lagi dibicarakan secara mendalam dilingkungan masyarakat maupun di sekolah atas peristiwa itu menjadi tidak acuh. Bahkan hampir tidak mengetahui untuk apa bendera setengah tiang tanggal 30 September dan upacara pada tanggal 1 oktobernya. Karena bagi mereka sebuah cerita yang tidak memiliki kejelasan merupakan hal yang tidak menarik untuk diketahui apalagi dipikirkan.

Padahal bagi setiap generasi sebuah peristiwa yang sudah menjadi sejarah yang juga beriringan dengan adanya republik ini perlu diketahui. Meskipun sejarah itu adalah hal yang buruk bagi bangsa atau mungkin kesalahan yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh yang ada pada masa itu. Karena dengan mengetahui setiap kesalahan yang pernah terjadi generasi berikutnya mampu untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Meskipun resikonya adalah para tokoh-tokoh itu menjadi tidak tenar dikalangan para generasi berikutnya. Namun seiring waktu, pada saat kematangan setiap generasi dalam berpikir resiko itu akan semakin terkikis dan keuntungannya bangsa ini dibangun berdasarkan fakta-fakta sejarah yang nyata.

Desakan dari berbagai elemen pun sudah beberapa kali dilontarkan kepada pemerintah untuk berperan serta dalam meluruskan sejarah tersebut. Tetapi hingga saat ini peran serta pemerintah dalam meluruskan sejarah tersebut tidak juga terlihat. Akibatnya berimbas kepada pemahaman masyarakat atas ideologi Negara ini yakni Pancasila menjadi hanya seperti jargon kampanye calon Presiden, Kepala Daerah dan Anggota Legislatif yang akan disebutkan ketika dalam hal promosi tetapi tidak akan dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat.

Padahal kelompok-kelompok yang sangat tidak senang dengan kepemimpinan Soeharto secara langsung mengkritik cara-cara penanaman Ideologi Pancasila ditengah-tengah masyarakat yang dulu dikenal dengan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Karena bagi mereka pemahaman Pancasila itu tidak boleh dibatasi seperti yang di tatar dalam P4 terbatas pada butir-butir Pancasila. Tetapi bagi mereka Pancasila itu harus ditafsirkan secara bebas seperti apa yang ada ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Karena sila-sila pancasila itu merupakan semua perilaku yang ada ditengah masyarakat. Seperti yang dikatakan Soekarno dalam pidato 1 Juli nya bahwa Pancasila itu lahir dari buminya Indonesia dan bukan diciptakannya tetapi hanya membidani proses kelahiran tersebut.

Itulah fakta nyata atas Indeologi Pancasila di Negara ini, lantas saat ini masih seringkah diperbincangkan Pancasila itu? Jawaban penulis adalah tidak. Karena ketika seseorang diberikan kebebasan untuk menerjemahkannya tanpa ada panduan maka yang terjadi adalah kebuntuan. Sehingga yang ada Pancasila tidak Sakti lagi. Padahal setiap tahun peringatan Kesaktian Pancasila selalu dilaksanakan yang justru jauh lebih dipedulikan dari hari kelahiran pancasila.

Hal itu selaras dengan semua kejadian yang terjadi saat ini di Indonesia, yakni bentok antar warga, antar warga dan aparat penegak hukum, antar pelajar dan berbagai penyimpangan dari Pancasila lainnya. Oleh karena itu apapun yang pernah terjadi dimasa lalu pasti akan memiliki pandangan berbeda dari setiap orang.

Jika sudah demikian, apapun yang diberikan terlalu bebas bisa akan menjadi semraut. Untuk itu dalam hal Ideologi Negara, perlu ada satu acuan panduan yang diberikan untuk lebih memahami apa sebenarnya nilai-nilai yang terkandung. Jika memang dirasa perlu melukakan hal yang sama dengan penatran P4 lagi, hal itu dapat dilakukan. Tetapi dengan cara memperbaiki format yang pernah dilakukan agar tidak ada lagi yang merasa bahwa penataran adalah pembatasan tetapi sebagai langkah mempermudah memahami nilai-nilai pancasila.

Sementara untuk persekolahan, pembelajaran pancasila benar-benar diberikan berdasarkan sejarah lahirnya pancasila. Juga nilai-nilai yang terkandung dimasyarakat sehingga harus dibidani oleh Soekarno lahir dari bumi Indonesia.